Beranda | Artikel
Faedah Tauhid (3), Tawakkal pada Allah Yang Maha Hidup
Kamis, 21 Juni 2012

Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna dan mulia. Allah itu Al Hayyu (Maha Hidup), kekal abadi sehingga jika seseorang bertawakkal pada-Nya, maka tentu ia bertawakkal pada Dzat yang Maha Sempurna. Berbeda jika ia bertawakkal pada makhluk (jin atau manusia). Makhluk tentu saja memiliki sifat kekurangan dan mereka tidak kekal abadi. Sehingga tawakkal kepada mereka tentu jadi sia-sia bahkan bisa membawa kepada kesyirikan.

Ada hadits yang bisa jadi renungan di mala mini yaitu mengenai do’a yang diajarkan kepada kita di mana do’a ini berisi permintaan pada Allah agar dilindungi dari kesesatan dan lainnya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، الَّذِى لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ »

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a (pada Allah), “Aku berlindung pada-Mu  dengan kemuliaan-Mu yang  tidak ada ilah (sesembahan) selain Engkau di mana Engkau tidaklah mati sedangkann jin dan manusia itu mati.” (HR. Bukhari no. 7383)

Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab,

باب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى ( وَهْوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ) ( سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ ) ( وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ )

Bab firman Allah Ta’ala (yang artinya): Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana[1], Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan[2], Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya[3].”

Hadits di atas adalah potongan hadits yang amat panjang yang berisi tentang bagaimana seorang seharusnya menghadap Allah, juga berisi bagaimana seorang hamba dalam bertawassul yaitu dengan islam dan iman.  Hadits ini juga mengajarkan tentang bagaimana seseorang bertawakkal dan menyandarkan diri pada Allah.

Lafazh hadits di atas dalam riwayat Muslim,

اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِى أَنْتَ الْحَىُّ الَّذِى لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ

“Allahumma laka aslamtu wa bika amantu wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khoshomtu. Allahumma inni a’udzu bi ‘izzatika laa ilaha illa anta an tudhillanii. Antal hayyu alladzi laa yamuut wal jinnu wal insu yamuutun” [Ya Allah, aku berserah diri pada-Mu, aku beriman pada-Mu, aku bertawakkal pada-Mu, aku bertaubat pada-Mu, dan aku mengadukan urusanku pada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu, tidak ada ilah selain Engkau yang bisa menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak mati sedangkan jin dan manusia mati] (HR. Muslim no. 2717)

Beberapa faedah dari hadits di atas:

  1. Bolehnya tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara) dalam do’a dengan iman dan amalan sholih di mana amalan yang utama adalah amalan hati berupa tawakkal pada Allah dan khudhu’ (tunduk dan patuh).
  2. Segala  urusan atas kuasa Allah. Tidak ada kuasa bagi hamba terhadap sesuatu selain melalui kuasa Allah.
  3. Di antara bentuk Islam dan Iman adalah bertawakkal pada Allah (menyerahkan seluruh urusan pada Allah disertai melakukan sebab atau usaha).
  4. Tawakkal pada Allah dan bertakwa pada-Nya adalah sebab datangnya pertolongan.
  5. Allah memiliki sifat ‘izzah (kemuliaan) dan yang dimaksud ‘izzah adalah kekuatan dan menang atas yang lainnya serta Allah bersendirian dalam kesempurnaan.
  6. Dibolehkannya isti’adzah (meminta perlindungan pada Allah) dengan ‘izzah-Nya (kemuliaan-Nya). Dan beristi’adzah (meminta perlindungan) dengan kemuliaan Allah adalah di antara bentuk tawassul melalui sifat Allah yang mulia. Dan bukanlah yang dimaksud kita berdo’a meminta pada sifat Allah. Jadi tidaklah dimaksud di sini seseorang boleh berdoa dengan mengatakan, “Ya ‘izzatallah, a’idznii [Wahai kemuliaan Allah, lindungilah aku]”. Tetapi kita berdo’a dengan mengatakan, “Allahumma bi ‘izzatika [Ya Allah, dengan kemuliaan-Mu]”.
  7. Dibolehkannya tawassul pada Allah dengan sifat ilahiyah dan mentauhidkan-Nya.
  8. Allah menyesatkan siapa saja sesuai kehendak-Nya dan melindungi siapa saja dari kesesatan. Oleh karena itu, kita dituntut meminta perlindungan pada Allah agar tidak terjerumus dalam kesesatan.
  9. Allah memiliki sifat kuasa (al qodr).
  10. Dibolehkannya meminta perlindungan pada Allah dari kesesatan. Ini sama halnya kita meminta perlindungan dengan ridho Allah dari murka-Nya dan meminta maaf-Nya dari siksa-Nya.
  11. Allah memiliki nama “al hayyu”, yaitu Maha Hidup.
  12. Jin itu ada, dan mereka bisa hidup dan bisa mati.
  13. Kehidupan bagi jin dan manusia berbeda dengan sifat hidupnya Allah. Jin dan manusia memiliki kekurangan dalam sifat hidup karena mereka pasti akan mati. Sedangkan Allah kekal abadi.
  14. Tawakkal hanya boleh ditujukan pada Allah dan tidak boleh pada selain-Nya karena Allah Maha Hidup dan tidak mati.
  15. Tidak boleh kita bertawakkal pada jin dan manusia karena mereka tidak kekal abadi dan pasti akan mati, berbeda dengan Allah yang kekal abadi dan memiliki sifat kesempurnaan yang tidak mengandung cacat sedikit pun.

Semoga dengan semakin merenungkan nama dan sifat Allah kita semakin bertawakkal dan beribadah dengan sempurna. Wallahu waliyyut taufiq.

 

(*) Faedah tauhid di sini adalah kumpulan dari faedah pelajaran tauhid bersama Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrok hafizhohullah. Beliau seorang ulama senior yang sangat pakar dalam akidah. Beliau menyampaikan pelajaran ini saat dauroh musim panas di kota Riyadh di Masjid Ibnu Taimiyah Suwaidi (27 Rajab 1433 H). Pembahasan tauhid tersebut diambil dari kitab Shahih Bukhari yang disusun ulan oleh Az Zubaidi dalam Kitab At Tauhid min At Tajriid Ash Shoriih li Ahaadits Al Jaami’ Ash Shohih.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 1 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

 


[1] QS. Ibrahim: 4

[2] QS. Ash Shoffaat: 180

[3] QS. Al Munafiqun: 8


Artikel asli: https://rumaysho.com/2526-faedah-tauhid-3-tawakkal-pada-allah-yang-maha-hidup.html